Muqadimah
Telah
dimaklumi, bahwa usia yang panjang bagi seorang hamba adalah merupakan
rahmat tersendiri dari Allah SWT. Apalagi umur yang panjang dalam
kehidupan di dunia ini, dihiasi serta dipenuhi dengan amal kebaikan,
baik vertikal maupun horizontal, KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan salah
satunya. Sejarah panjangnya, dalam pengabdian serta perjuangan untuk
agama, bangsa dan negara, telah terukir dalam tinta mas.
Pengabdian
serta perjuangan telah terbukti dengan kepribadiannya selama masa
revolusi fisik untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan negara
republik Indonesia ini, dan selanjutnya mengisi kemerdekaan tersebut
melalaui bidang pendidikan dan pengajaran. Bukan cuma itu, buah
pemikiran beliau yang dituangkan ke dalam sejumlah kitab, masih banyak
yang belum diketahui.
Melukiskan
orang besar sekaliber KH. M. Hasyim Asy’ari, serta pemikirannya
bukanlah suatu yang mudah, karena ada kehawatiran akan mereduksi
gambaran sang tokoh dan karya-karyanya. Namun masih tersisa harapan,
semoga hal tersebut dapat merangsang pembaca untuk menggali lebih
dekat, baik seputar kelahiran, keluarga, perjalanan studi,
gagasan-gagasan besar dan peninggalan yang harus dirawat, serta
pemikiran beliau yang dituangkan dalam karya kitab-kitabyan yang
berbahasa arab (kitab kuning).
Kelahiran Dan Masa Kecil
Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama
Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang
konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau
adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau
Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:
1. Halimah (Winih)
2. Muhammad
3. Leler
4. Fadli
5. Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang
bernama Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan
Asy’ari hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
1. Nafi’ah
2. Ahmad Saleh
3. Muhammad Hasyim
4. Radiyah
5. Hasan
6. Anis
7. Fatonah
8. Maimunah
9. Maksun
10. Nahrowi, dan
11. Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H,
bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan
kelahira KH.M. Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah isyaroh yang
menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai
Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya,
begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit
seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil
belaiu hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini
berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang
tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak diselatan kota Jomabng dan di
desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama
Asy’ariyah.
Principle of early learning (sulit tergantikan dari
unsur-unsur asing), mungkin teori ini layak disandang oleh beliau,
berdasarkan kehidupan belaiu yang mendukung yaitu hidup dilingkungan
pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap
pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagimana
ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana
para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling
membantu..
Rihlah Ilmiyah
a. Belajar Pada Keluarga
Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar
ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa
perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima
pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan
pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang
dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup
muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan
keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidak puasannya
terdahap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu,
membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya.
Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni
belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukuan pengembaraanya
menuntut ilmu.
b. Mengembara ke Berbagai Pesantren
Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim
belajar ke pondok-pondik pesantren yang masyhur di tanah Jawa,
khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di
Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan
di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan,
Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif
(Syaikhuna Khalil).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M.
Hasyim Asy’ari “ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau
melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertannya.
Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim
lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil
mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istinya. Setelah melihat
kesedihan diwajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk
mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar
mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan
keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah
bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian
inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa
menjadi santrinya maupun setelah kembali kemasyarakat untuk berjuang.
Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak
mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul
Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah
sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun
1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di
pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang
terkenal ilmu nahwau dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub
semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk
dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang
saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai
Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi
ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan
mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga
memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap
ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama
dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits
Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih
berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci
Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra
yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati
itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia.
empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang
ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah
mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan.
Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan
ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya.
Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang
senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan
tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.
c. Kematangan Ilmu di Tanah Suci
Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi
pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali
ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenagan indah
dan sedih teringat kembali tat kala kaki beliau kembali menginjak tanah
suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk
lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat
bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa
untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam
Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di
Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang
tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil
berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh
Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas
Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan
Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan),
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di
Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris
lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk
beramal dan mengajar di kampung halaman.
Peran-Peran Besar KH. M. Hasyim Asy’ari
a. Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai
mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang
diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan
dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri.
Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh
Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak
berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika
telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren
yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu
merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja
menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu
tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng
(kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada se-eokor kerbau yang
terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya,
ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang
asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang
dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan
Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26
Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng,
bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai
Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai
lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap
penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M.
Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu
keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori
dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon
diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh
jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP.
Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng
yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan
orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang,
alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan
menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat
pondok pesantren.
b. Mendirikan Nahdlatul Ulama’
Disamping aktif mengajar belaiu juga aktif dalam berbagai kegiatan,
baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344
H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlhn Jam’iyah
Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH.
Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan
tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat
yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu
Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja
yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih
menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun
menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU
yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah…
Nahdlatul ulama’
sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad
untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk
menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi
bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat
perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka
kesempatan musuh untuk mengancurkannya, baik penjajah atau mereka yang
ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk
mengadudombanya antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh
pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya
oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan
keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar
yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang
pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas
tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj
dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada
persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada
persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki
dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional.
Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi
Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada
perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik
peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam
politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar
Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan
kembali pada khitohnya.
c. Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan
dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan,
beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari
penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan
pemerintah belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda
kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau
memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut
dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang
ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
1. Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
2. Harta benda yang berlimpah-limpah
3. Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika
mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan
kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan
mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir KH.M. Hasyim Asy’ari
mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan
menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW
Masa-masa revolusi fisik
di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu terberat bagi
beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh
pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami
penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat.
Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam
tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik
Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau mefatwakan
pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan
hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang , pada
tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara
Mojokerto kemudian ditawan disurabaya. Beliau dianggap sebagai
penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun
1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua umum dewan partai
Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu dipangkunya
namuni tetap mengajar dipesantren hingga beliau meninggal dunia pada
tahun 1947.
Keluarga Dan Sisilah
Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317
H/1899 M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri
Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan
ini kiai hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
1. Hannah
2. Khoiriyah
3. Aisyah
4. Azzah
5. Abdul Wahid
6. Abdul hakim (Abdul Kholiq)
7. Abdul Karim
8. Ubaidillah
9. Mashurroh
10. Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali
denagn Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren
Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua
dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
1. Abdul Qodir
2. Fatimah
3. Chotijah
4. Muhammad Ya’kub
Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )
Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul
Halim (Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir)
yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng)
yang bergelar Brawijaya VI
Wafatnya Sang Tokoh
Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami
Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan
pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba
datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kia
menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu
itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang
jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya
akan diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron
melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin
tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar
laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian
beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa
beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi,
beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian
meminta kedua tamu tersebut untuik meninggalkan tempat, sedangkan dia
sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian,
Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak sadarkan diri.
Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan
tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di
tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di
markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter
didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru
diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun dokter
telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain
pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi,
Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H.
Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian belaiu ketempat
peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat dalam dari
hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil
maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya
para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya
yang kini berbaring di pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng.
Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab
hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya
menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada
mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.
Karya Kitab klasik
Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau
tulis disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi
ribuat umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan.
Ini merupakan bukti riil dari skap dan prilakunya, pemikiranya dapat
dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa arab.
Tetapi sangat diakungkan, karena kuarang lengkapnya dokumentasi,
kitab-kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya.
Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan
judul. Namun diakungkan yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul
saja, diantaranya:
1. Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin.
Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya
2. Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat.
Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
4. Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh.
Kajian tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
5. Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal
Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
6. Adabul ‘Alim Wa Muata’alim.
Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
7. Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah.
Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
8. Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan